Search This Blog

December 17, 2009

materi 11 bank dan lembaga keuangan lainnya

BAB 11
LEMBAGA PEMBIAYAAN
A. Sewa Guna Usaha (Leasing)
1. Pengertian Sewa Guna Usaha
Pengertian dari sewa guna usaha adalah adanya hubungan antara
perusahaan leasing (lessor) dengan nasabah (lessee) dalam hal ketika lessee
membutuhkan jasa lessor untuk sewa guna barang yang dibutuhkan oleh lessee.
Sedangkan pengertian sewa guna usaha sesuai dengan keputusan Menteri
Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan barang modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance
lease) maupun secara sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) utuk
digunakan oleh lessee selam jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara
berkala. Selanjutnya yang dimaksud dengan finance lease adalah kegiatan sewa
guna usaha di mana lessee pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk
membeli objek sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati. Sebaliknya
operating lease tidak memiliki hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha.
2. Kegiatan leasing
Kegiatan yang dilakukan oleh sewa guna usaha menurut Surat Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tanggal 21 November 1991. Kegiatan
leasing dapat dilakukan dengan dua (dua) cara yaitu :
a. Melakukan sewa guna usaha dengan hak opsi bagi lessee (finance leasing)
Adapun kriteria untuk finance leasing apabila perusahaan leasing memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
1.) Jumlah pembayaran sewaguna usaha dan selama masa sewa guna usaha
pertama kali, ditambah dengan nilai sisa barang yang dilease harus dapat
menutupi harga perolehan barang modal yang dileasekan dan keuntungan
bagi pihak lessor.
2.) Dalam perjanjian sewa guna uaha memuat ketentuan mengenai hak opsi
bagi lessee.
Kemudian di dalam prakteknya transaksi finance leasing dibagi lagi ke dalam
bentuk-bentuk sebagai berikut :
- Direct finance lease
nama lain dari transaksi ini adalah true lease, di mana dalam transaksi ini
pihak lessor membeli barang modal atas permintaan lessee dan sekaligus
menyewagunakan barng tersebut kepada lessee. Oleh karena itu proses
pembelian yang dilakukan lessor hanyalah untuk memenuhi kebutuhan
pihak lessee.
- Sales and lease back
Prose ini dilakukan dimana pihak lessee menjual barang modalnyakepada
lessor untuk dilakukan kontrak sewa guna usaha atas barang tersebut, yaitu
anta lessee dan lessor, hal ini dilakuakn bila lessee membutuhkan modal
kerja.
b. Melakukan sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease)
Berikut krietaria untuk operating lease :
- Jumlah pembayaran selama masa leasing pertama tidak dapat memenuhi
harga perolehan barang modal yang dileasekan ditambah keuntungan bagi
pihak lessor.
- Di dalam perjanjian leasing tidak memuat mengenai hak opsi bagi lessee.
2. Perjanjian Leasing
perjanjian yang dibuat antara lessor dengan lease disebut dengan “lease
agrement”, di mana di dalam perjanjian tersebut memuat kontrak kerja bersyarat
antara kedua belah pihak, yaitu antara lessor dan lessee. Isi kontrak tersebut
memuat antara lain :
a. Nama dan alamat lease
b. Jenis barang modal yang diinginkan
c. Jumlah atau nilai barang yang dileasingkan
d. Syarat-syarat pembayaran
e. Syarat-syarat kepemilikan atau syarat lainnya
f. Biaya-biaya yang dikenakan
g. Sangsi-sangsi apabila lessee ingkar janji
Jika seluruh pesyaratan telah disetujui, maka pihak lessor akan menghubungi
pihak asuransi untuk menanggung resiko kemacetan pembayaran lessee.
B. Anjak Piutang
Bidang usaha Anjak piutang secara bisnis termasuk sebagai salah satu jenis
usaha pembiayaan. Sejak pasca krisis ekonomi mulai tahun 1998, Anjakpiutang
mengalami pertumbuhan yang lambat dibandingkan dengan jenis pembiayaan
multifinance lainnya yang lebih mengandalkan 'security dari barang yang dibiayai.
Hal ini disebabkan adanya perbedaan mengenai 'security, karena Anjak-piutang
yang mengandalkan pembayaran atas tagihan piutang dagang memang secara
teknis risikonya dianggap lebih tinggi ketimbang jenis usaha pembiayaan lainnya.
asal-muasal lahimya lembaga factoring. Lembaga hukum yang dimaksud
itu mampu mengatasi "'problem cash Flow”. Dikenal pertama kali di Negara yang
menganut Common Law System, yakni Amerika Serikat dan Inggris. Bentuk dari
suatu transaksi bisnis yang menjembatani permasalahan tersebut adalah transaksi
Factoring yang dikemas dalam Factoring Agreement. Salah satu literatur hukum
dari jurisprudensi Amerika dan Inggris, seperti yang ditulis oleh ahli hukum
terkenal Henry Campbell Black dalam bukunya Black's Law Dictionary tentang
terminology factoring adalah “Sale of accounts receivable of a fine to a factor at a
discounted price. The purchase of accounts receivable from business by a factor,
who thereby assumes the risk of loss in return for some agreed discount" Dikutip
dalam perkara Manhattan Factoring vs Orsbum. And A system involving notice to
the trade debtors, di mulai dari industry textile lihat perkara Corn Exchange Nat.
Bank & Trust Co., Philadelphia vs. Klauder. Adapun hubungan bisnis dan
pergaulan bisnis yang meluas itu telah memberikan pengaruh dan dikenalnya sitem
factoring dikalangan pelaku bisnis. Meskipun factoring itu sendiri tidak dikenal
dalam Civil Law System yang dianut di Indonesia. Namun atas permintaan dan
memenuhi keinginan pelaku bisnis melalui 'pekerjaan' para "Lawyer/Drafter”
untuk dibuatlah Factoring Agreement yang dapat dipakai di Indonesia, di mana
dasar hukum yang utama adalah azas kebebasan berkontrak, yakni pasal 1338 ayat
1 BW.
Pihak-pihak yang terlibat di dalam kegiatan Anjak-piutang adalah :
1. Factor adalah kreditur baru yang mengambil-alih atau membeli tagihan piutang
dagang;
2. Klien adalah perusahaan selaku kreditur awal yang menjual dan menyerahkan
piutang dagang yang berupa tagihan jangka pendek yang berasal dari transaksi
dagang miliknya melalui suatu perjanjian (Factoring Agreement);
3. Konsumen adalah pihak tertarik yang wajib membayar hutang dagangnya
yang telah dialihkan oleh klien kepada pihak factor pada saat jatuh temponya.
Penerapan hukum Anjak-piutang menurut pendapat majelis hakim pengadilan
niaga di Indonesia, seperti dalam penelitian terhadap 7 putusan majelis hakim
dalam perkara permohonan pailit menunjukkan perbedaan di dalam
menafsirkan dan memahami pengertian dan konsep hukum Anjakpiutang, baik
sebagai utang atau sebagai pembelian piutang. Yang mencolok di antaranya
ada 1(satu) putusan mengenai pembelian piutang dalam perkara PT. Batara
Intemasional Finansindo (PT. BIF) mengajukan permohonan pailit terhadap
PT. Gabus Putih Indah (PT. GPI) atas dasar Perjanjian Factoring.
Putusan ini memuat pertimbangan ratio hukum Anjak piutang mendasarkan
pada Keputusan Menteri Keuangan, yaitu dibuktikan adanya keterlibatan tiga
pihak, yaitu factor sebagai pembeli piutang(PT. BIF), klien sebagai penjual
piutang(PT. GPI), dan yang terakhir adalah konsumen atau pelanggan yang
wajib membayar piutang tersebut. Hubungan hukum dalam Factoring ini
menurut pendapat majelis hakim, bahwa walaupun tennuat klausula recourse
yang tetap membebankan risiko kegagalan membayar kepada klien, namun
disisi lain juga membatasi kewenangan hukum klien untuk menagih kepada
konsumen. Dalam hal ini kewenangan menagih tetap pada factor, kecuali
secara tertulis factor meminta klien untuk melakukan penagihan. Kegagalan
PT. BIF melakukan pemindahan hak tagih yang pantas dari PT.BIF sebagai
factor kepada PT. GPI sebagai klien bukanlah obyek utang dad PT. BIF kepada
PT.GPI.
Pertimbangan Majelis Kasasi dalam perkara PT. BIF dengan PT. GPI yang
termuat dalam memori kasasi, diantaranya menyebutkan, bahwa Judex Factie
tidak salah menerapkan hukum dan dasar pengakuan utang adalah perjanjian
Anjak-piutang yang menurut pendapat hukum dad Majelis Kasasi perjanjian
tersebut tidak ada di karenakan PT. BIF dan PT. GPI telah sepakat
mengakhiri perjanjian Anjak-piutang, sedangkan status hubungan diantara
debitur dan kreditur tidaklah dapat dibuktikan secara sederhana, sehingga
penyelesaian sengketa ini haruslah diajukan ke Pengadilan Negeri.
Ruang lingkup Anjak-piutang diperkenalkan lewat lembaga pembiayaan. Oleh
karenanya nuansa dan karakter pembiayaan sangat mewarnai hubungan yang
tercipta di dalam lembaga Anjak-piutang di Indonesia. Karakter pembiayaan
erat kaitannya dengan hubungan utang-piutang. Konsep utang piutang terdapat
dua sisi produk perbuatan, yaitu utang dan piutang. Utang adalah produk
perbuatan dari sisi pihak yang memperoleh pinjaman sejumlah uang,
sedangkan piutang adalah produk perbuatan dilihat dari sisi pihak yang
memberi pinjaman sejumlah uang. Sifat pembiayaan ini menyebabkan adanya
unsur biaya bunga sebagai pengganti diskonto dan adanya limit(plafond) kredit
yang diperjanjikan dan adanya sifat retensi. Di dalam praktek perbankan, pihak
pemberi pinjaman dan pihak penerima pinjaman atau peminjam yang dikemas
dalam suatu perjanjian kredit yang merupakan perjanjian pokok dan biasanya
diikuti dengan perjanjian jaminan. Perjanjian pokok yang dimaksud lebih
dikenal sebagai Perjanjian Kredit untuk meMbiayai Piutang Dagang (Account
Receivable(AR) Financing Program). Perkembangan selanjutnya Anjak
piutang, berupa model percampuran, dimana bentuk pembiayaan bersama-sama
dengan pembelian dan pengalihan berada dalam satu pengertian Anjak-piutang.
Kelembagaan pembiayaan, dan pembelian tersebut dalam khasanah hukum
Indonesia masing-masing mempunyai dasar-hukum. Untuk itu diperlukan
interpretasi sistematis terhadap suatu undang-undang sebagai bagian dan
keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan menghubungkan dengan
undang undang lain.
C. Modal Ventura
1. Pengertian Modal Ventura
Pengertian modal ventura sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 61
Tahun 1988 adalah “Badan usaha yang melakukan suatu pembiayaan dalam bentuk
penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bnatuan
pembiayaan.” Modal ventura adalah perusahaan yang memberikan pembiayaan
dengan cara melakukan penyertaan langsung ke dalam perusahaan yang dibiayai,
dan keuntungan dari modal ventura berupa deviden atau capital gain.
2. Tujuan Pendirian Modal Ventura
Tujuan dari perusahaan ini tidaklah hanya demi keuntungan semata namun juga
membantu pemerintah dan piahk yng ingin membangun atau mendirikan sebuah
usaha, berikut adalah beberapa tujuan pendirian modal ventura :
a. Untuk mengembangkan suatu proyek tertentu, misalnya proyek penelitian,
dimana proyek ini bukan hanya untuk meraih keuntungan semata tetapi juga
untuk pengembangan pengetahuan.
b. Pengembangan suatu teknologi baru atau penegmbangan produk baru.
c. Pengambilalihan kepemilikan suatu perusahaan
d. Kemitraan dalam rangka pengentasan kemiskinan, dalam hal ini modal ventura
membantu pengusaha lemah yang kekurangan modal akan tetapi tidak
memiliki jaminan materi sehingga sulit memperoleh pinjaman.
e. Membantu perusahaan yang sedang kekurangan likuiditas.
3. Jenis Pembiayaan Modal Ventura
Jenis-jenis pembiayaan perusahaan modal ventura adalah sebagai berikut :
a. Equity Financing
Merupakan jenis pembiayaan langsung. Dalam hal ini perusahaan modal
ventura melakukan penyertaan langsung pada perusahaan pasangan usaha
(PPU) dengan cara mengambil bagian dari sejumlah saham milik PPU.
b. Semi Equity Financial
Merupakan pembiayaan dengan membeli obligasi konversi yang diterbitkan
oleh perusahaan PPU.
c. Mendirikan perusahaan baru
Dalam hal ini perusahaan modal ventura bersama-sama dengan PPU
mendirikan usaha yang baru sama sekali.
d. Bagi hasil
Merupakan pembiayaan kepada usaha kecil yang belum memiliki bentuk badan
hukum perseroan terbatas, namun dapat pula perusahaan yang berbentuk PT,
apabila kedua belak pihak menyetujuinya.
4. Perkembangan Modal Ventura
Modal ventura adalah perusahaan yang berani melakukan investasi dimana
Di antara sekian banyak perusahaan modal ventura yang tumbuh dan tenggelam,
keberadaan perusahaan bentukan pemerintah yakni PT Bahana Arta Ventura
(BAV) plus 26 perusahaan modal ventura daerah (PMVD) cukup berperan
membantu perkembangan UKM.
Sejarah perkembangan perusahaan modal ventura di Indonesia cukup
panjang kendati relatif masih muda dibandingkan sejarah kehadiran lembaga
serupa di luar negeri. Perusahaan modal ventura diawali dengan pembentukan
BUMN PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Lalu, pada tahun 1973,
BPUI mendirikan PT Bahana Artha Ventura (BAV) yang sahamnya 100% dimiliki
oleh BPUI. Namun menyangkut kinerja agaknya masih jauh dari yang diharapkan,
perusahaan modal ventura kurang berkembang. Pembiayaan PMVD berdasarkan
sektor-sektor persentase
Industri 15%
Perdagangan 23%
Pertanian 19%
Home industri 1%
Jasa 4 2%
Sumber: BAV, 2003
Karena itu pada 1988 pemerintah meluncurkan ketentuan baru-bagian dari
reformasi finansial-yang memungkinkan lahirnya perusahaan sejenis milik swasta,
baik swasta nasional maupun usaha patungan dengan asing di Jakarta maupun di
daerah.
Akhirnya beberapa perusahaan modal ventura saat itu mulai hadir a.l. PT BNJI
(perusahaan patungan Bank BNI dengan Nomura Jaffco) serta perusahaan
patungan PT Danareksa dengan perusahaan Jepang dan Brunei Darussalam. Selain
itu, berbagai grup perusahaan besar juga ikut mendirikan divisi perusahaan modal
ventura.
Namun tidak sedikit perusahaan swasta gulung tikar akibat usahanya yang
tidak lagi menguntungkan akibat kesalahan investasi, kesulitan permodalan, hingga
bangkrutnya perusahaan pasangan usaha (PPU) akibat krisis. Menurut sumber
Bisnis di Departemen Keuangan, krisis ekonomi sejak 1997 memberi kontribusi
gulung tikarnya usaha sebagian perusahaan modal ventura swasta. Selain ada yang
diam-diam tidak aktif, beberapa perusahaan minta kepada Depkeu untuk mencabut
izin usahanya. "Sistem penyampaian pelaporan lembaga keuangan ini memang
tidak seketat sistem perbankan," ujar sumber tadi. Paling tidak, ada dua faktor yang
menyebabkan perusahaan-perusahaan 'pelat merah' itu sampai kini mampu
bertahan. Kemampuan modal dan pendanaan yang cukup memadai serta bidikan
pembiayaan yang fokus pada usaha kecil. Dilihat dari besar nominal, modal
masing-masing PMVD separuhnya di atas angka Rp3 miliar, cukup besar bagi
sebuah perusahaan pembiayaan di daerah yang membidik usaha kecil, bahkan
mikro. Dari keseluruhan modal setiap PMVD, kontribusi BAV cukup bervariasi.
PT Sarana Sumatra Selatan Ventura misalnya, kontribusi BAV terhadap
keseluruhan modal Rp7,08 miliar atau 21%, sementara pada PT Sarana Nusa
Tenggara Timur Ventura mencapai 87% dari keseluruhan modal Rp3 triliun.
Dengan kebutuhan pembiayaan rata-rata hanya Rp100 juta, setiap PMVD paling
tidak sudah mampu membiayai sekurangnya 30 PPU. Belum lagi suntikan dana
dari JEXIM (Japan Export - Import Bank) yang cukup signifikan sejak Maret 1997.
Berdasarkan catatan Bisnis, pinjaman lunak yang dicanangkan Presiden Soeharto
pada saat itu berjumlah Y14 miliar atau senilai Rp21 miliar dengan kurs pada 1997
dengan sasaran utama kalangan UKM yang memiliki prospek ekspor dan padat
karya.
Sekadar diketahui, jangka pinjaman tersebut berakhir hingga 2000. Namun
karena alasan kebutuhan tenggang waktu pelunasan itu diperpanjang hingga
Desember tahun ini. JEXIM mengenakan bunga 6,5%, sementara BAV
menyalurkannya kepada PMVD dengan bunga 8,5%. Ketua Asosiasi Perusahaan
Modal Ventura Daerah (PMVD) Yopie S. Batubara mengatakan nilai pinjaman
JEXIM saat ini tercatat sekitar Rp1,2 triliun dan sudah mulai diangsur melalui
BAV. Kalangan PMVD agaknya sangat tertolong dengan suntikan dana tersebut.
Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan jumlah PPU maupun nilai investasi yang
meningkat tajam sejak 1997. Bila pada 1996 kemampuan BAV dan PMVD baru
mampu membiayai 558 unit PPU dengan total investasi Rp3,7 miliar maka akhir
tahun berikutnya sudah tercatat 1.481 unit PPU dengan nilai investasi Rp227,34
miliar.
Dari sisi jumlah maupun nilai investasi, jumlah tersebut terus bertambah banyak
sampai akhir 2002 dengan jumlah PPU 7.382 unit dan investasi Rp1,43 triliun,
namun rata-rata penyertaan bervariasi Pada tahun pertama, rata-rata investasi
perusahaan modal ventura daerah tersebut mencapai Rp168 juta dan meningkat
187 juta pada 1995, setahun berikutnya rata-rata penyertaan menurun menjadi
Rp86 juta dan 1997 sekitar Rp89 juta. Semakin kecilnya rata-rata penyertaan pada
perusahaan mitra bisa menunjukkan bahwa PPU yang digandeng menjadi pasangan
usaha adalah perusahaan skala kecil atau bahkan mikro.
Hal ini juga bisa menunjukkan strategi perusahaan modal ventura untuk
melakukan diversifikasi risiko pembiayaan karena semakin banyak PPU dengan
nilai investasi yang semakin kecil terjadi penyebaran risiko. Faktor inilah agaknya
menjadi salah satu penentu kemampuan perusahaan modal ventura 'pelat merah'
mampu bertahan bahkan cenderung berkembang di tengah ambruknya sebagian
perusahaan yang tidak tahan krisis. Apalagi secara umum, perusahaan skala mikro,
kecil dan menengah (UMKM) kenyataannya mampu membuktikan diri sebagai
entitas bisnis yang tahan krisis.Pendanaan terancam
Di saat perusahaan modal ventura mampu menunjukkan kemampuannya menjadi
mitra bagi UMKM, mereka ternyata cukup khawatir akibat jangka waktu pinjaman
JEXIM segera berakhir. Apalagi sejauh ini belum ada sumber dana pengganti.
Tentu saja, seiring ditariknya dana tersebut kemampuan pendanaan
perusahaan modal ventura pemerintah semakin lemah. Bahkan, menurut Komisaris
BAV Hendi Kariawan, pada 2004 perusahaan-perusahaan modal ventura
diperkirakan tidak bisa membiayai PPU baru dan sekadar menjadi kolektor
penyertaan. Berbagai upaya telah ditempuh, termasuk desakan kepada Menkeu
untuk meminta JEXIM melakukan rescheduling pinjaman tersebut. Bukan karena
bermasalah, tapi lagi-lagi faktor kebutuhan pembiayaan. "Ini harus dilakukan bila
pemerintah masih menginginkan perusahaan pembiayaan yang dirintis sejak 1991
tersebut tetap bisa membiayai kalangan UKM," ujar Ketua APMVD Yopie S.
Batubara. Desakan agar pemerintah menjadwal ulang pinjaman tersebut, menurut
dia, semata untuk mempertahankan usaha PMVD yang sudah didukung sistem
yang mapan itu bisa tetap berjalan baik. Bila tidak, tambah Sekjen APMVDI
Wahyono, krisis pendanaan tersebut mengancam kelangsungan hidup PMVD
hanya sampai 2004. Bila sampai tahun itu tidak mendapatkan pinjaman lunak
maka diperkirakan mereka hanya melakukan fungsi collecting. investasi tersebut
mengandung resiko yang tinggi.

No comments:

Post a Comment